Kebenaran ruqyah sebagai pengobatan sudah dibuktikan oleh
para ulama dahulu. Adapun pada masa sekarang ini (dan juga masa sebelumnya),
praktek pengobatan yang dianjurkan oleh Sunnah Nabi ini, nampak mengalami
beberapa pergeseran tata cara dan tujuan. Terjadinya pergeseran ini, disamping
telah menimbulkan kesalahan persepsi tentang ruqyah, juga memunculkan adanya
kekhawatiran menyangkut masalah aqidah.
Penyimpangan yang terjadi, di antaranya berpangkal dari dual
hal. Pertama, buta atau kurang memahami permasalahan agama. Kedua, membenarkan
bualan jin yang merasuki badan seseorang. Misalnya, jin tersebut melontarkan
nasihat kepada orang yang akan mengobati, dengan mengatakan –misalnya- kondisi
penderita ini demikian, bacalah ayat ini ayat itu, atau tulislah Al Qur’an
dengan cara tertentu kemudian lakukan ini itu. Dari sini, kemudian sang terapis
menuruti petunjuk jin yang banyak menjerumuskan orang-orang ke jurang perbuatan
haram.
Berikut kami sebutkan di antara kekeliruan dalam praktek
ruqyah.
1. Mengajak Jin Untuk Berkomunikasi Dan Membenarkan
Ocehannya.
Sering terjadi adanya komunikasi dengan jin dan melontarkan
pertanyaan kepadanya tentang banyak permasalahan. Baik tentang nama, umurnya
dan keyakinannya. Orang-orang pun mudah mempercayainya. Fenomena ini hanya akan
mengantarkan manusia menuju kerusakan dan pelanggaran. Orang-orang seolah
melupakan bahwa jin bukan sumber talaqqi ilmu. Sebab kedustaanlah yang
mendominasi sepak terjang jin. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Abu Hurairah: “Dia (saat ini) jujur kepadamu, tetapi ia
makhluk yang pendusta”.
Praktek seperti di atas mengandung unsur pelanggaran
terhadap petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani berkata:
Dahulu, orang-orang yang menangani ruqyah di hadapan orang kesurupan, hanyalah
ditangani beberapa individu yang shalih dengan jumlah tidak banyak. Sedangkan
sekarang ini, jumlah mereka ratusan orang. Bahkan termasuk juga sekumpulan
wanita mutabarrijah (pesolek). Akibatnya praktek ini menyimpang dari statusnya
sebagai sarana pengobatan syar’i – yang hanya dilakukan oleh para ahlinya-
berubah menjadi fenomena dan sarana kehidupan yang tidak dikenal syariat
ataupun ilmu kedokteran sekaligus. Justru menurutku termasuk praktek dajl
(kedustaan) dan bisikan setan kepada musuhnya, manusia…. Barangsiapa yang
meminta pertolongan dengan jin dalam membuang pengaruh sihir atau ingin
mengetahui jati diri jin yang sedang merasuki seseorang – jin itu laki-laki
atau perempuan, muslim atau kafir- dan kemudian dibenarkan oleh orang tadi dan
juga orang-orang yang bersamanya, niscaya mereka ini tercakup dalam kandungan
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa mendatangi tukang
ramal, atau dukun dan membenarkannya atas ucapannya, maka ia telah mengingkari
risalah yang diturunkan kepada Muhammad”. [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim
dan imam lainnya. Lihat Ghayatul Irwa`, no. 2006]. Maka aku ingin memberikan
masukan untuk mereka –kalau mereka tetap menjalankannya- saat berkomunikasi
dengan jin, tidak melebihi petunjuk Nabi yang hanya mengatakan “Keluarlah kamu,
wahai musuh Allah”. Lihat Silsilah Shahihah, 6/1009-1010.
Komunikasi dalam pengobatan ruqyah ini justru berdampak
buruk, di antaranya:
Pertama : Terjadinya fitnah dan perseteruan antara manusia.
Sebab, tatkala jin mengatakan bahwa si Fulan adalah aktor yang menyusupkan
pengaruh sihir, dan ini didengar oleh orang banyak, maka dapat mengakibatkan
timbulnya permusuhan dan kebencian di antara kaum Muslimin. Berapa banyak tali
silaturahmi yang putus, rumah yang hancur dan keluarga yang tercerai-berai
lantaran perkataan jin yang ada dalam tubuh korban kerasukan?
Kedua : Jin akan lebih lama tinggal dalam tubuh korban,
lantaran bacaan Al Qur`an dihentikan dengan komunikasi tersebut.
2. Menyembelih Hewan Sembelihan Untuk Jin.
Perbuatan ini haram, karena termasuk dalam kategori syirik.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah melaknati orang yang
menyembelih untuk selain Allah”.
3. Terlalu Bergantung Pada Pengalaman.
Karena terlalu longgar, banyak peruqyah yang memiliki cara
tersendiri, berbeda dengan cara rekan sejawatnya yang lain. Mereka berdalih,
cara ini sudah melewati uji coba dan ternyata manjur.
Sebagai contoh, mengolesi minyak pada anggota tubuh
tertentu, membaca Al Qur`an di depan satu bejana air dan berwudhu dengannya,
juga untuk mandi dengan berlebihan, penggunaan kayu wangi (bukhur), penggunaan
cara kekerasan dengan intimidasi terhadap jin, keinginan untuk membakarnya, atau
bahkan ingin membunuhnya. Cara yang dipakai kadang dengan pukulan, cekikan
(pada korban), menggelapkan ruangan tempat terapi, membakar beberapa bagian
anggota tubuh korban. Atau dengan melakukan ruqyah di hadapan orang banyak demi
menghemat waktu. Caranya, menggunakan pengeras suara di dalam masjid dengan
memfokuskan pada ayat-ayat yang diklaim sebagai ayat ruqyah.
Syaikh Al Albani mengatakan: “Tidak setiap pengalaman yang
bermanfaat menunjukkan, bahwa cara seperti itu sesuai dengan syariat. Sebab,
seandainya masalah ini dibuka secara bebas, maka akan membuka kelonggaran untuk
kedustaan, bid’ah dan khurafat. Atau tidak menutup kemungkinan terjadinya
kesyirikan”.
4. Berprofesi Sebagai Pembaca Ruqyah.
Ada sebagian orang yang menyibukkan diri untuk mengobati
dengan cara ruqyah. Waktunya hanya habis untuk membaca di depan orang-orang
yang sakit. Tempat tinggal diperluas dan siap menerima kedatangan para pasien.
Jadwal kunjungan pun ditetapkan layaknya rumah sakit. Kesibukan ini dijadikan
sebagai pekerjaan untuk mencari penghidupan. Fenomena ini akan menimbulkan
dampak negatif.
Pertama : Kebanyakan orang akan mengira, bahwa peruqyah ini
mempunyai keistimewaan tersendiri. Buktinya banyak pengunjung mendatanginya.
Akibatnya, menimbulkan asumsi, jika posisi pembaca Al Qur`an melebihi kedudukan
yang dibacanya, yaitu Al Quran. Oleh karena itu, segala akses yang berakibat
melemahnya kepercayaan orang kepada Al Qur`an harus dicegah.
Kedua : Sang peruqyah juga mungkin akan mengira dirinya
mempunyai kekuatan super sehingga setan-setan takluk di hadapannya. Sehingga
penyakit ‘ujub dan takabur merasukinya, demikian juga perasaan buruk lainnya.
Dahulu, pada zaman sahabat, ada sekian sahabat yang dikenal
doanya terkabul, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, dan juga Uwais Al Qarni dari
kalangan tabi’in. Meski begitu, tidak diketahui atsar yang menunjukkan adanya
orang-orang memadati rumahnya untuk meminta doa. Padahal doa mustajab sangat
dibutuhkan orang-orang untuk memperbaiki dunia dan akhiratnya.
Ketiga : Orang yang menyibukkan diri untuk meruqyah, adalah
laksana orang yang mengkhususkan diri untuk mendoakan orang lain, karena
jenisnya sama. Apakah pantas bagi seorang muslim mengatakan, kemarilah aku akan
doakan kalian. Apalagi praktek ini mematikan semangat orang untuk meruqyah diri
sendiri dan meminta penyembuhan dari Allah semata.
5. Meminta Upah Dengan Berbagai Cara.
Imbal balik ini dilakukan dengan beragam cara :
Pertama : Memaksa agar diberi upah yang tinggi.
Kedua : Menolak meruqyah kecuali setelah menerima satu
nominal uang dari penderita.
Ketiga : Sengaja mengulangi pengobatan dan memanjangkan
waktunya sehingga dapat menerima upah untuk setiap kesempatan.
Keempat : Mereka mengaku tidak meminta upah, tetapi hanya
ada jual beli air “bertuah” yang sudah dibacakan ruqyah padanya. Air “bertuah”
dicampur dengan beberapa ramuan alami, kemudian dijual dengan harga mahal.
6. Membuat Dzikir-Dzikir Baru Dalam Agama.
Dalam beberapa buku disebutkan adanya pengobatan dengan ayat
Al Qur`an, dzikir-dzikir yang umum dalam syariat, namun cara ketentuan
membacanya ditetapkan dengan cara-cara yang khusus.
Sebagai misal, adanya ketentuan agar ayat ini atau dzikir
ini dibaca duapuluh kali atau seratus kali. Padahal sama sekali tidak ada
keterangannya dalam agama. Contoh konkretnya dalam buku Itsbatu ‘Ilaji Jami’i
Al Amradhi Bil Qur`an (ketetapan penyembuhan segala penyakit dengan Al Qur`an).
Dalam buku tersebut dijelaskan, setelah penulis menyebutkan ayat-ayat terapi,
ia menambahkannya dengan ketentuan “hendaknya ditulis dalam piring buatan Cina,
berwarna putih tanpa ornamen. Tentu yang seperti ini merupakan kesalahan.
Disamping cara-cara ruqyah yang keliru di atas, masih ada
beberapa cara yang menyimpang lainnya, seperti:
– Meyakini bahwa ruqyah benar-benar bermanfaat dan merupakan
faktor penyembuh.
– Membuka pengobatan dengan menanyakan nama dan nama ibu
pasien.
– Meminta benda-benda yang pernah dipakai pasien.
– Meminta penyembelihan hewan dengan cara khusus. Dan
kadang, setelah itu memerintahkan untuk melumuri badan penderita dengan darah
hewan tersebut.
– Menuliskan beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami layaknya
kode morse atau huruf yang putus-putus.
– Melakukan komat-kamit dengan kalimat yang tidak terpahami.
– Membekali pasien dengan benda untuk dipendam di sekitar
rumah.
– Menyatakan mampu memberi tahu pasien tentang kondisi yang
dialaminya.
– Terlihatnya tanda-tanda kefasikan pada seorang peruqyah,
seperti malas menunaikan shalat berjamaah.
– Dalam pengobatan wanita, dengan dalih sebagai penyembuh
atau dengan alasan terpaksa, kadang sang peruqyah membuka aurat wanita, melihat
wanita di tengah pengobatan, meletakkan tangan di tubuh pasien wanita atau
mengoleskan cream di beberapa anggota tubuhnya. Padahal, wanita adalah fitnah
terbesar bagi kaum lelaki. Disinilah setan berusaha menjerumuskan para terapis
ke jurang pelanggaran syari’at dengan dalih penyembuhan, dan masih banyak
lainnya.
Demikian praktek ruqyah yang bisa dianggap bisa mewakili
terungkapnya beberapa kekeliruan yang terjadi seputar ruqyah. Bagi mereka yang
melakukan terapi ruqyah, hendaknya berpegang teguh dengan petunjuk Al Qur`an
dan Sunnah yang shahih. Jangan sampai setan mempermainkan mereka. Allah
berfirman, yang artinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah
Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [QS An Nur ayat
63]. (Red)
Maraji`:
1. As Sihru Wa Al’Ain Wa Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya
Fahd bin Sulaiman Al Qadhi`, Cetakan Haiah Al Amru Bil MA’rufi Wan Nahyi ‘Anil
Mungkar, tanpa tahun.
2. Fathur Rahman Fi Bayani Hajril Qur`an, karya Abu Anas
Muhammad bin Fathi Alu ‘Abdul Aziz dan Abu Abdir Rahman Mahmud bin Muhammad Al
Mallah, Dar Thayyibah Al Kadhra`, Mekkah, Cet. II, Th. 2002.
3. Nazharat Wa Ta`ammulat Min Waqi’i Al Ummah, karya Dr.
Muhammad bin Abdur Rahman Al Khumayyis, Maktabah Ash Shabahah Sharjah Uni
Emirat, Cet. I, Th. 1419 H/1998M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun
IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
------
di share dari : almanhaj.or.id/2694-ruqyah-yang-keliru.html

Tidak ada komentar:
Posting Komentar